Senin, 28 November 2011

?

Lima tahun lalu  di bulan Agustus tahun 2006, Saya dinyatakan resmi terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Pattimura Ambon. Sebagai remaja yang banyak dibekali dengan Ilmu Pengetahuan Alam sejak duduk dibangku sekolah menengah atas, Ilmu hukum adalah bidang baru yang harus saya tempuh dengan minimnya pengetahuan dibidang tersebut.
Kini hari itu berlalu, 4 hari yang lalu sejak saya dinyatakan lulus dalam sidang skripsi dan dikukuhkan dalam pagelaran Wisuda Sarjana II Universitas Pattimura Ambon Tahun 2011, Saya duduk termenung dengan bayang – bayang (flashback) tentang masa-masa saya sebagai mahasiswa hukum.

Saya rasa pendidikan formal (hanyalah) merupakan sebuah proses yang dibentuk sedemikian rupa hingga (terlihat) menjadi tahapan penting dalam kehidupan seseorang di negeri ini (sekarang ini).

Dalam penjabaran verbal yang lebih sederhana, saya berpandangan bahwa jalur pendidikan tinggi  di Indonesia saat ini lebih menjadi produk jualan oleh kalangan universitas atau penyedia jasa, dengan didukung oleh golongan akademis elit yang membentuk cara pandang pluralis bahwa ¨tanpa gelar pendidikan, maka kesuksesan hidup adalah tidak lebih dari sebuah bayangan.¨

Seperti yang terlampir dalam halaman motto skripsi dan sugesti diri saya bahwa tidak ada sesuatu keadaan  yang terdekat pada diri manusia melebihi kemauan (rene descrates) atau seperti pepatah arab yang menyatakan  man jadda wa jadda, saya percaya bahwa saya harus menjadi sosok yang saya harapkan di masa depan. Imajinasi saya akan ´sosok itu,´ menjaga ambisi dan kepercayaan diri saya untuk berjalan menuju jalur yang saya maksud.

Gelar yang saya dapat di bangku kuliah tidaklah lebih dari dua variabel alfabet (S dan H) yang pada akhirnya membuat saya mempertanyakan relevansi dari penempatannya di belakang nama saya, kaitannya dengan sosok ´Siapa Saya´, serta bayangan tentang saya di masa depan.

Dengan terus menanjaknya ´harga´ yang harus dibayar demi lahirnya sebuah gelar akademis, saya bertanya pada diri saya sendiri: Apakah untuk menjadi pribadi yang dapat membawa perubahan bagi masyarakat saya harus ´mengorbankan´ orang tua saya untuk terus berjuang dalam tatanan yang mengkerdilkan kelas pekerja?

Empat tahun yang menjadi kewajiban minimal rata-rata di perguruan tinggi di Indonesia untuk pada akhirnya diakhir dengan langkah manis di podium dan diberi gelar ¨Sarjana¨, telah menjadi semacam beban bagi para orang tua yang terus dipaksa roda sistem yang memaksa pekerja untuk berkontribusi banyak pada tempatnya bekerja, dan terus digerus haknya untuk dapat hidup layak sebagai manusia.

Rekayasa ini semakin dipertajam dengan sikap angkuh penyedia lapangan pekerjaan yang meminimalisasi persyaratan untuk para pencari kerja dengan peletakkan syarat pendidikan strata satu atau sarjana. Ketika pendidikan menjadi monopoli kaum-kaum bermodal, yang belakangan ini digambarkan dengan representasi angka maka pantas kah mewajibkan hal semacam itu bagi rakyat Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih manusia ini?

Maka pada akhirnya, mereka yang bertahan adalah mereka yang berkemampuan. Mereka yang bermodal, mereka yang mampu menyetor jutaan hingga puluhan juta rupiah ke rekening universitas setiap enam bulannya. Mereka yang dibuat bangga dengan nama almamaternya, mereka yang dibuat lupa dengan tujuan sesungguhnya dari statusnya sebagai kaum intelektual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar